Mengenai pemberitaan media massa tentang dua peristiwa, yaitu kasus kontroversial terkait dua pimpinan non-aktif KPK dan rembuk nasional yang digagas SBY, ada hal menarik disimak.
Boleh dibilang, semua media massa, cetak atau televisi, mengangkat kasus kontroversial itu menjadi isu utama pemberitaan berhari-hari. Dengan kata lain, media massa terkesan terbawa arus euforia dalam memberitakan peristiwa penahanan dua pimpinan non-aktif KPK. Yang dimaksud dengan euforia di sini adalah kecenderungan semua media massa menjadikan persoalan tersebut sebagai isu utama pemberitaan selama berhari-hari.
Sementara, apa yang dibicarakan dalam rembuk nasional kurang kurang mendapat tempat yang baik dalam pemberitaan, karena itu kurang diperhatikan publik. Rembuk nasional sebagai peristiwa, hanya diberitakan mengikuti rutinitas praktek pemberitaan. Sekali diberitakan, sesudah itu selesai.
Akibat perbedaan kecenderungan media massa dalam memberitakan kedua peristiwa itu, muncul tanggapan dari pihak yang berbeda. Meski posisi dan kepentingan pihak pemberi tanggapan berlainan, namun di balik tanggapan itu tersirat pandangan bahwa apa yang dibicarakan dalam rembuk nasional sesungguhnya menyangkut persoalan yang tak kalah penting.
Munculnya tanggapan atas kecenderungan media massa dalam memberitakan suatu peristiwa, jelas bukan sesuatu yang baru atau istimewa. Selalu ada kemungkinan muncul ketidakpuasan mengenai cara media massa memberitakan persoalan tertentu. Ketidakpuasan ini bisa dipahami. Sebab, meski secara ideal media massa diharapkan mampu mengenali setiap persoalan penting yang perlu mendapat perhatian publik untuk diangkat sebagai isu pemberitaan, tidak selalu harapan itu terpenuhi.
Dengan kata lain, bukan mustahil media massa memandang persoalan tertentu penting diberitakan, sedang yang penting bagi publik justru persoalan lain. Bukan mustahil pula media massa menilai suatu persoalan lebih penting dibanding yang lain, padahal bagi publik persoalan lain itu merupakan persoalan yang tak kalah penting.
Dalam konteks itulah mengapa perbedaan kecenderungan media massa dalam memberitakan kedua peristiwa yang disebut di atas, serta tanggapan yang muncul atas perbedaan kecenderungan tersebut, diketengahkan. Tujuannya bukan untuk membandingkan peristiwa mana yang lebih penting mendapat perhatian publik.
Melainkan sebagai latar belakang untuk mengajukan pertanyaan berikut.
Ketika dua peristiwa terjadi saat bersamaan, dengan asumsi kedua peristiwa itu menyangkut persoalan yang boleh dibilang hampir sama penting, bagaimana sebaiknya media massa memberitakan kedua peristiwa itu? Apakah tepat bagi media massa hanya mengangkat salah satu peristiwa sebagai isu utama pemberitaan, bahkan selama berhari-hari, dengan akibat peristiwa yang lain kurang mendapat tempat dalam pemberitaan?
Tiga Tanggapan
Sebagai penggagas rembuk nasional, SBY diberitakan kecewa karena isu rembuk nasional yang digelar pekan lalu, tenggelam oleh pemberitaan soal penahanan dua pimpinan KPK non-aktif, Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah (Kedaulatan Rakyat, 3/03/2009).
Kenyataan yang mengecewakan SBY itu ternyata juga menjadi keprihatinan Syafii Maarif. Pada bagian akhir artikelnya berjudul Nurani Lawan Keangkuhan (KOMPAS, 3/11/2009), beliau menyodorkan catatan bahwa perhatian publik demikian besar tersita oleh kasus Bibit-Chandra, sehingga gaungannya jauh melampaui ingar-bingarnya perhelatan Dialog Nasional (National Summit) yang digagas presiden.
Masih tentang persoalan yang sama, Andi Suruji berpendapat lain. Dikemukakan, mengapa perhatian media massa yang tersedot ke peristiwa penahanan dua pimpinan non-aktif KPK sehingga materi rembuk nasional menjadi kurang mendapat pemberitaan yang baik, adalah karena strategi public relations pemerintah sangat buruk (KOMPAS, 31/10/2009). Ini sekaligus menimbulkan pertanyaan sejauh mana koordinasi dan sinkronisasi antar menko dilaksanakan.
Diungkapkan lebih lanjut, kalau memang polisi hendak melakukan penahanan—apalagi sudah bisa dipastikan bakal menuai kontroversi— mungkin sebaiknya satu atau dua hari berikutnya supaya program rembuk nasional tersosialisasikan lebih dahulu karena mendapat pemberitaan yang baik di media.
Kekecewaan dan Apologi
Apa catatan yang bisa dikemukakan mengenai tanggapan ketiga pihak tersebut?
Kekecewaan SBY bisa dipahami. Sebagai penggagas rembuk nasional, SBY tentu ingin agar apa yang dibicarakan selama rembuk nasional mendapat perhatian publik. Rembuk nasional jelas dimaksudkan SBY untuk menunjukkan kepada seluruh lapisan masyarakat bahwa sebagai kepala pemerintahan yang bertugas merencanakan dan melaksanakan program kerja selama lima tahun mendatang, ia telah membuka peluang untuk menerima masukan dari masyarakat luas di bidang ekonomi, kesejahteraan rakyat, hukum dan reformasi birokrasi.
Dengan kata lain, program kerja 100 hari pertama dan begitu pula program kerja selama lima tahun ke depan tidak disusun berdasarkan kemauan SBY semata, melainkan dengan mempertimbangkan masukan yang diperoleh melalui rembuk nasional.
Kekecewaan SBY terhadap liputan media agaknya bukan karena media massa sama sekali tidak memberitakan isu yang dibicarakan dalam rembuk nasional. Rembuk nasional yang berlangsung selama dua hari itu dan dihadiri 1400 peserta tetap diberitakan media massa. Boleh jadi, kekecewaan SBY muncul oleh sebab lain. Yaitu bahwa sebenarnya SBY mengharapkan masukan pula dari media massa, atau dari pihak lain yang tidak hadir dalam rembuk nasional tetapi berkeinginan menyampaikan sumbang saran melalui media massa.
Dengan asumsi bahwa kekecewaan SBY dilatar-belakangi pemikiran seperti yang dikemukakan di atas, sudah tentu bisa dikatakan bahwa hal itu bukanlah merupakan alasan yang kuat untuk menyalahkan media massa. Media massa mempunyai kriteria sendiri dalam menilai apa persoalan yang dipandang penting diangkat menjadi isu utama pemberitaan. Apa yang penting menurut kepala negara sekalipun, tidak serta-merta menjadi isu penting pula menurut kaca mata media massa.
Bagaimana dengan tanggapan Syafii Maarif?
Meski tidak dikemukakan secara eksplisit, catatan Syafii Maarif bisa ditafsirkan sebagai ungkapan yang menyayangkan bahwa karena kasus Bibit-Chandra, hal penting yang dibicarakan dalam rembuk nasional tersebut justru kurang mendapat perhatian publik.
Mengingat posisinya sebagai tokoh nasional yang selama ini diketahui banyak menyumbangkan pemikiran tentang kehidupan berdemokrasi di negeri ini, barangkali Syafii Maarif hendak mengatakan, publik seharusnya memperhatikan dan mencatat apa yang dibicarakan dalam rembuk nasional, dan berdasarkan itu kemudian mengamati sejauh mana hal itu dilaksanakan atau tidak dalam program kerja Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Tumbuhnya perhatian publik atas hal dimaksud sudah tentu tidak lepas dari peran media massa. Namun media massa tidak menjalankan perannya secara baik.
Kemudian, mengenai tanggapan Andi Suruji. Dari sisi kepentingan SBY sebagai penggagas rembuk nasional, tanggapan Andi Suruji bisa dibenarkan. Apabila apa yang dibicarakan dalam rembuk nasional diharapkan memperoleh perhatian publik secara luas melalui pemberitaan media massa, penyelenggaraan rembuk nasional seharusnya disertai strategi public relation yang baik.
Namun, dilihat dari peran yang diharapkan dijalankan media massa, dengan jurnalis sebagai ujung tombak, justru timbul pertanyaan apakah tanggapan tersebut bukan sebagai apologi belaka. Strategi public relations yang baik yang dilancarkan pihak kepentingan terkait suatu peristiwa, memang bisa mempermudah kerja jurnalis. Tapi, agar dapat menilai apakah suatu persoalan memang penting mendapat perhatian publik dan karena itu layak mendapat tempat dalam pemberitaan, jurnalis seharusnya tidak tergantung pada baik tidaknya strategi public relations dari pihak manapun.
Dua Peristiwa
Tinggi atau rendahnya perhatian publik terhadap suatu persoalan jelas berkorelasi dengan seberapa gencar media massa menyoroti persoalan itu sebagai isu utama pemberitaan. Semakin gencar media massa menyoroti suatu persoalan, itu menjadi isyarat bagi publik bahwa persoalan tersebut penting diperhatikan.
Menyoroti suatu persoalan secara gencar, jadi menjadikan persoalan itu sebagai isu utama pemberitaan dalam jangka waktu lebih lama, sepanjang tidak terjerumus ke dalam pemberitaan sensasional, bukan tabu.
Bukan mustahil media lain juga memilih persoalan yang sama sebagai isu utama pemberitaan. Bahwa persoalan tertentu ‘dikeroyok’ bersama-sama sebagai isu utama pemberitaan oleh beberapa media, bukan hal yang aneh. Asalkan upaya itu lebih dilandasi tujuan demi pengembangan wacana publik, dan bukan karena ikut-ikutan atau takut kalah dalam persaingan, tidak ada yang menyalahkan. Publik hanya menilai media mana yang memberitakan suatu persoalan dengan fakta yang benar, lengkap, akurat, disertai paparan mendalam dengan berbagai sudut pandang, dan seterusnya.
Ada kemungkinan beberapa persoalan muncul saat bersamaan dan setiap persoalan tersebut layak dijadikan isu utama pemberitaan. Kemungkinan tersebut menyebabkan media massa harus memilih, persoalan mana yang akhirnya dijadikan isu utama pemberitaan.
Memilih salah satu persoalan menjadi isu utama pemberitaan juga hal yang wajar. Persoalan menjadi lain manakala perhatian media massa yang hanya terfokus terhadap persoalan tertentu selama berhari-hari, terbawa euforia. Dengan sendirinya perhatian publik tersedot habis ke persoalan itu. Sedang persoalan lain yang tak kalah penting, karena kurang mendapat porsi yang lebih layak dalam pemberitaan media massa, kurang diperhatikan publik.
Sehubungan dengan itu, pertanyaan yang dikemukakan terdahulu penting diajukan kembali:
Ketika dua peristiwa terjadi saat bersamaan, dengan asumsi kedua peristiwa itu menyangkut persoalan yang boleh dibilang hampir sama penting, bagaimana sebaiknya media massa memberitakan kedua peristiwa itu? Apakah tepat bagi media massa hanya mengangkat salah satu peristiwa sebagai isu utama pemberitaan, bahkan selama berhari-hari, dengan akibat peristiwa yang lain kurang mendapat tempat dalam pemberitaan?***