Ketika Media Terbawa Euforia

November 10, 2009

Mengenai pemberitaan media massa tentang dua peristiwa, yaitu kasus kontroversial terkait dua pimpinan non-aktif KPK dan rembuk nasional yang digagas SBY, ada hal menarik disimak.
Boleh dibilang, semua media massa, cetak atau televisi, mengangkat kasus kontroversial itu menjadi isu utama pemberitaan berhari-hari. Dengan kata lain, media massa terkesan terbawa arus euforia dalam memberitakan peristiwa penahanan dua pimpinan non-aktif KPK. Yang dimaksud dengan euforia di sini adalah kecenderungan semua media massa menjadikan persoalan tersebut sebagai isu utama pemberitaan selama berhari-hari.
Sementara, apa yang dibicarakan dalam rembuk nasional kurang kurang mendapat tempat yang baik dalam pemberitaan, karena itu kurang diperhatikan publik. Rembuk nasional sebagai peristiwa, hanya diberitakan mengikuti rutinitas praktek pemberitaan. Sekali diberitakan, sesudah itu selesai.
Akibat perbedaan kecenderungan media massa dalam memberitakan kedua peristiwa itu, muncul tanggapan dari pihak yang berbeda. Meski posisi dan kepentingan pihak pemberi tanggapan berlainan, namun di balik tanggapan itu tersirat pandangan bahwa apa yang dibicarakan dalam rembuk nasional sesungguhnya menyangkut persoalan yang tak kalah penting.
Munculnya tanggapan atas kecenderungan media massa dalam memberitakan suatu peristiwa, jelas bukan sesuatu yang baru atau istimewa. Selalu ada kemungkinan muncul ketidakpuasan mengenai cara media massa memberitakan persoalan tertentu. Ketidakpuasan ini bisa dipahami. Sebab, meski secara ideal media massa diharapkan mampu mengenali setiap persoalan penting yang perlu mendapat perhatian publik untuk diangkat sebagai isu pemberitaan, tidak selalu harapan itu terpenuhi.
Dengan kata lain, bukan mustahil media massa memandang persoalan tertentu penting diberitakan, sedang yang penting bagi publik justru persoalan lain. Bukan mustahil pula media massa menilai suatu persoalan lebih penting dibanding yang lain, padahal bagi publik persoalan lain itu merupakan persoalan yang tak kalah penting.
Dalam konteks itulah mengapa perbedaan kecenderungan media massa dalam memberitakan kedua peristiwa yang disebut di atas, serta tanggapan yang muncul atas perbedaan kecenderungan tersebut, diketengahkan. Tujuannya bukan untuk membandingkan peristiwa mana yang lebih penting mendapat perhatian publik.
Melainkan sebagai latar belakang untuk mengajukan pertanyaan berikut.
Ketika dua peristiwa terjadi saat bersamaan, dengan asumsi kedua peristiwa itu menyangkut persoalan yang boleh dibilang hampir sama penting, bagaimana sebaiknya media massa memberitakan kedua peristiwa itu? Apakah tepat bagi media massa hanya mengangkat salah satu peristiwa sebagai isu utama pemberitaan, bahkan selama berhari-hari, dengan akibat peristiwa yang lain kurang mendapat tempat dalam pemberitaan?

Tiga Tanggapan
Sebagai penggagas rembuk nasional, SBY diberitakan kecewa karena isu rembuk nasional yang digelar pekan lalu, tenggelam oleh pemberitaan soal penahanan dua pimpinan KPK non-aktif, Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah (Kedaulatan Rakyat, 3/03/2009).
Kenyataan yang mengecewakan SBY itu ternyata juga menjadi keprihatinan Syafii Maarif. Pada bagian akhir artikelnya berjudul Nurani Lawan Keangkuhan (KOMPAS, 3/11/2009), beliau menyodorkan catatan bahwa perhatian publik demikian besar tersita oleh kasus Bibit-Chandra, sehingga gaungannya jauh melampaui ingar-bingarnya perhelatan Dialog Nasional (National Summit) yang digagas presiden.
Masih tentang persoalan yang sama, Andi Suruji berpendapat lain. Dikemukakan, mengapa perhatian media massa yang tersedot ke peristiwa penahanan dua pimpinan non-aktif KPK sehingga materi rembuk nasional menjadi kurang mendapat pemberitaan yang baik, adalah karena strategi public relations pemerintah sangat buruk (KOMPAS, 31/10/2009). Ini sekaligus menimbulkan pertanyaan sejauh mana koordinasi dan sinkronisasi antar menko dilaksanakan.
Diungkapkan lebih lanjut, kalau memang polisi hendak melakukan penahanan—apalagi sudah bisa dipastikan bakal menuai kontroversi— mungkin sebaiknya satu atau dua hari berikutnya supaya program rembuk nasional tersosialisasikan lebih dahulu karena mendapat pemberitaan yang baik di media.

Kekecewaan dan Apologi
Apa catatan yang bisa dikemukakan mengenai tanggapan ketiga pihak tersebut?
Kekecewaan SBY bisa dipahami. Sebagai penggagas rembuk nasional, SBY tentu ingin agar apa yang dibicarakan selama rembuk nasional mendapat perhatian publik. Rembuk nasional jelas dimaksudkan SBY untuk menunjukkan kepada seluruh lapisan masyarakat bahwa sebagai kepala pemerintahan yang bertugas merencanakan dan melaksanakan program kerja selama lima tahun mendatang, ia telah membuka peluang untuk menerima masukan dari masyarakat luas di bidang ekonomi, kesejahteraan rakyat, hukum dan reformasi birokrasi.
Dengan kata lain, program kerja 100 hari pertama dan begitu pula program kerja selama lima tahun ke depan tidak disusun berdasarkan kemauan SBY semata, melainkan dengan mempertimbangkan masukan yang diperoleh melalui rembuk nasional.
Kekecewaan SBY terhadap liputan media agaknya bukan karena media massa sama sekali tidak memberitakan isu yang dibicarakan dalam rembuk nasional. Rembuk nasional yang berlangsung selama dua hari itu dan dihadiri 1400 peserta tetap diberitakan media massa. Boleh jadi, kekecewaan SBY muncul oleh sebab lain. Yaitu bahwa sebenarnya SBY mengharapkan masukan pula dari media massa, atau dari pihak lain yang tidak hadir dalam rembuk nasional tetapi berkeinginan menyampaikan sumbang saran melalui media massa.
Dengan asumsi bahwa kekecewaan SBY dilatar-belakangi pemikiran seperti yang dikemukakan di atas, sudah tentu bisa dikatakan bahwa hal itu bukanlah merupakan alasan yang kuat untuk menyalahkan media massa. Media massa mempunyai kriteria sendiri dalam menilai apa persoalan yang dipandang penting diangkat menjadi isu utama pemberitaan. Apa yang penting menurut kepala negara sekalipun, tidak serta-merta menjadi isu penting pula menurut kaca mata media massa.
Bagaimana dengan tanggapan Syafii Maarif?
Meski tidak dikemukakan secara eksplisit, catatan Syafii Maarif bisa ditafsirkan sebagai ungkapan yang menyayangkan bahwa karena kasus Bibit-Chandra, hal penting yang dibicarakan dalam rembuk nasional tersebut justru kurang mendapat perhatian publik.
Mengingat posisinya sebagai tokoh nasional yang selama ini diketahui banyak menyumbangkan pemikiran tentang kehidupan berdemokrasi di negeri ini, barangkali Syafii Maarif hendak mengatakan, publik seharusnya memperhatikan dan mencatat apa yang dibicarakan dalam rembuk nasional, dan berdasarkan itu kemudian mengamati sejauh mana hal itu dilaksanakan atau tidak dalam program kerja Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Tumbuhnya perhatian publik atas hal dimaksud sudah tentu tidak lepas dari peran media massa. Namun media massa tidak menjalankan perannya secara baik.
Kemudian, mengenai tanggapan Andi Suruji. Dari sisi kepentingan SBY sebagai penggagas rembuk nasional, tanggapan Andi Suruji bisa dibenarkan. Apabila apa yang dibicarakan dalam rembuk nasional diharapkan memperoleh perhatian publik secara luas melalui pemberitaan media massa, penyelenggaraan rembuk nasional seharusnya disertai strategi public relation yang baik.
Namun, dilihat dari peran yang diharapkan dijalankan media massa, dengan jurnalis sebagai ujung tombak, justru timbul pertanyaan apakah tanggapan tersebut bukan sebagai apologi belaka. Strategi public relations yang baik yang dilancarkan pihak kepentingan terkait suatu peristiwa, memang bisa mempermudah kerja jurnalis. Tapi, agar dapat menilai apakah suatu persoalan memang penting mendapat perhatian publik dan karena itu layak mendapat tempat dalam pemberitaan, jurnalis seharusnya tidak tergantung pada baik tidaknya strategi public relations dari pihak manapun.

Dua Peristiwa
Tinggi atau rendahnya perhatian publik terhadap suatu persoalan jelas berkorelasi dengan seberapa gencar media massa menyoroti persoalan itu sebagai isu utama pemberitaan. Semakin gencar media massa menyoroti suatu persoalan, itu menjadi isyarat bagi publik bahwa persoalan tersebut penting diperhatikan.
Menyoroti suatu persoalan secara gencar, jadi menjadikan persoalan itu sebagai isu utama pemberitaan dalam jangka waktu lebih lama, sepanjang tidak terjerumus ke dalam pemberitaan sensasional, bukan tabu.
Bukan mustahil media lain juga memilih persoalan yang sama sebagai isu utama pemberitaan. Bahwa persoalan tertentu ‘dikeroyok’ bersama-sama sebagai isu utama pemberitaan oleh beberapa media, bukan hal yang aneh. Asalkan upaya itu lebih dilandasi tujuan demi pengembangan wacana publik, dan bukan karena ikut-ikutan atau takut kalah dalam persaingan, tidak ada yang menyalahkan. Publik hanya menilai media mana yang memberitakan suatu persoalan dengan fakta yang benar, lengkap, akurat, disertai paparan mendalam dengan berbagai sudut pandang, dan seterusnya.
Ada kemungkinan beberapa persoalan muncul saat bersamaan dan setiap persoalan tersebut layak dijadikan isu utama pemberitaan. Kemungkinan tersebut menyebabkan media massa harus memilih, persoalan mana yang akhirnya dijadikan isu utama pemberitaan.
Memilih salah satu persoalan menjadi isu utama pemberitaan juga hal yang wajar. Persoalan menjadi lain manakala perhatian media massa yang hanya terfokus terhadap persoalan tertentu selama berhari-hari, terbawa euforia. Dengan sendirinya perhatian publik tersedot habis ke persoalan itu. Sedang persoalan lain yang tak kalah penting, karena kurang mendapat porsi yang lebih layak dalam pemberitaan media massa, kurang diperhatikan publik.
Sehubungan dengan itu, pertanyaan yang dikemukakan terdahulu penting diajukan kembali:
Ketika dua peristiwa terjadi saat bersamaan, dengan asumsi kedua peristiwa itu menyangkut persoalan yang boleh dibilang hampir sama penting, bagaimana sebaiknya media massa memberitakan kedua peristiwa itu? Apakah tepat bagi media massa hanya mengangkat salah satu peristiwa sebagai isu utama pemberitaan, bahkan selama berhari-hari, dengan akibat peristiwa yang lain kurang mendapat tempat dalam pemberitaan?***

Iklan

Bila Sorotan Pers Dianggap Sepi

September 14, 2009
TENTU bukan hanya suatu kebetulan ketika tiga suratkabar pada hari yang  sama menyoroti suatu persoalan di negara ini melalui tajuk rencana masing-masing. Pastilah persoalan itu dipandang penting, sehingga secara khusus disoroti lewat tajuk rencana, tidak hanya diberitakan. Celakanya, sorotan itu dianggap sepi.

Selasa, 8 September 2009, tiga suratkabar, yaitu Koran Tempo, Media Indonesia, dan Republika, menyoroti persoalan yang sama, yaitu pemilihan anggota BPK oleh Komisi IX DPR yang penuh kontroversi.

Sebagaimana dikemukakan melalui ketiga tajuk tersebut, pemilihan anggota BPK itu dinilai penuh kontroversi karena beberapa alasan.

Pertama, sejak awal terkesan pemilihan anggota BPK dilakukan tidak transparan dan tergesa-gesa.  Mengacu UU BPK Nomor 15/2006, anggota baru seharusnya sudah terpilih enam bulan sebelum anggota lama meletakkan jabatan. Sedang masa jabatan anggota lama akan berakhir 19 Oktober nanti.

Kedua, ada 8 anggota DPR ikut mengincar bursa pemilihan ketua dan anggota BPK, 7 anggota Komisi IX DPR.  Bahkan beberapa di antaranya adalah anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR sendiri. Ini merisaukan, karena Komisi IX DPR menguji rekannya sendiri.  Seberapa jauh obyektivitas mereka dapat dipercaya?  Dikhawatirkan akan terjadi bagi-bagi jatah  kursi BPK untuk parpol, yang menyebabkan uji kelayakan berubah menjadi politik dagang sapi.    Apalagi DPR berencana menggunakan voting tertutup pada pemilihan anggota BPK.  Voting tertutup akan menghilangkan nilai seleksi itu sendiri. Baca entri selengkapnya »

Berita Pers: Menimbulkan Kebingungan atau Mereduksi Ketidakpastian?

Agustus 15, 2009

TERKAIT perburuan teroris oleh polisi, Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers mengeluarkan pernyataan menyesalkan berita tentang upaya polisi tersebut di sejumlah media massa, terutama televisi. Sejumlah informasi yang disampaikan dinilai telah membingungkan masyarakat dan mengganggu penyidikan polisi. (KOMPAS, 13/08/2009)

Pasalnya, berdasarkan tes DNA, polisi akhirnya menyatakan bahwa teroris yang tewas tertembak mati di Temanggung, Jawa Tengah, adalah Ibrohim. Padahal, sebelum polisi mengeluarkan pernyataan itu, berita media massa mengisyaratkan bahwa yang menjadi sasaran perburuan polisi di Temanggung dan kemudian tewas itu adalah Noordin M Top. Dengan kata lain, laporan media massa tentang siapa teroris yang menjadi sasaran perburuan polisi itu, sampai akhirnya polisi menyampaikan hasil tes DNA, ternyata tidak dapat dipercaya.

Barangkali itu sebabnya Tjipta Lesmana (Guru Besar Komunikasi Politik FISIP-UPH) dalam artikelnya (KOMPAS, 13/08/2009) menulis agar lain kali, kalau mau melancarkan operasi membekuk teroris, polisi jangan membawa korps wartawan. Alasannya, laporan pers kadang membawa kebingungan informasi. Baca entri selengkapnya »

Buku Sekolah Elektronik Tak Dilirik

Agustus 1, 2009

Suara Merdeka, 29 Juli 2009, memberitakan bahwa berdasarkan data Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi (Pustekkom) Depdiknas, saat ini baru 6% sekolah (17.500) dari total 300.000 sekolah yang terkoneksi Internet.

Kenyataan sebagaimana diungkap melalui berita tersebut mengembalikan ingatan atas buku sekolah elektronik (BSE) yang diluncurkan sejak tahun lalu. Kalau hanya 6 % sekolah terkoneksi dengan jaringan internet, bukankah itu berarti bagi sebagian besar sekolah BSE merupakan sesuatu yang tidak tersentuh, tidak bisa memetik manfaatnya?

Dengan kata lain, memasuki tahun ajaran baru yang telah dimulai pertengahan Juli 2009, karena tidak terkoneksi ke jaringan internet, sebagian besar sekolah belum tentu menggunakan BSE sebagai buku ajar utama. Jika demikian halnya, sebagai buah suatu kebijakan yang menyangkut kepentingan publik, BSE patut dipertanyakan. Lantas, seperti apa wacana yang dikembangkan pers, dalam hal ini suratkabar, mengenai persoalan tersebut?

Menuai Kontroversi

Sejak diluncurkan Depdiknas, BSE memang telah menuai kontroversi. Sejumlah pihak berpendapat bahwa program BSE tidak bermanfaat. Pendapat itu segera dibantah pejabat Depdiknas yang menyatakan BSE tetap ada manfaatnya. Baca entri selengkapnya »

Ironi Kebijakan Pendidikan Gratis

Juli 15, 2009

SEJAK diluncurkan, kebijakan pendidikan gratis hingga SMP sebagaimana diiklankan oleh Depdiknas serta merta menimbulkan keraguan berbagai pihak, apakah kebijakan pendidikan gratis tersebut sungguh menjadi kenyataan.

Keraguan tersebut bukan tidak beralasan. Kenyataan selama ini menunjukkan, setiap tahun orangtua siswa selalu dikenai berbagai pungutan. Menjadi pertanyaan apakah kebiasaan pihak sekolah yang membebani orangtua siswa dengan berbagai pungutan itu bisa hilang begitu saja.

Tetapi, belum tentu semua orangtua yang akan menyekolahkan anak ke SD atau ke SMP memiliki keraguan seperti itu. Saat ditayangkan pertama kali melalui televisi, iklan pendidikan gratis itu mungkin saja menimbulkan keraguan di benak mereka. Persoalan berbeda ketika iklan tersebut gencar ditayangkan dalam waktu cukup lama. Keraguan berganti dengan kepercayaan. Kepercayaan menumbuhkan harapan, yaitu harapan bahwa pendidikan gratis akan menjadi kenyataan.

Pilih Sekolah Negeri

Bagi orangtua yang akan menyekolahkan anak ke SD atau ke SMP, tumbuhnya harapan bahwa pendidikan gratis akan menjadi kenyataan diterjemahkan dengan mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri. Anak lulusan TK didaftarkan ke SD negeri. Anak lulusan SD didaftarkan ke SMP negeri. Baca entri selengkapnya »

Wacana Publik Pasar Tradisional

Juni 12, 2009

Di masa kampanye pilpres ini, ada pasar tradsional mendapat sorotan media massa. Bukan karena terbakar, kebanjiran, atau menjual barang dengan harga paling murah. Bukan. Ada capres atau cawapres berkunjung ke pasar tradisional.

Dalam konteks kampanye, kunjungan itu tak perlu dipersoalkan. Namun ada saja pertanyaan yang bisa diajukan. Sebagaimana diumumkan KPU, capres maupun cawapres sekarang ini berharta milyaran. Apakah dalam keseharian beliau-beliau itu memang berbelanja ke pasar tradisional yang terkenal bau, kotor, dan sumpek? Apakah bukan sebaliknya yang terjadi, mereka lebih suka berbelanja ke pasar moderen seperti supermarket atau mall di kota besar? Baca entri selengkapnya »

Di Ruang Publik Tak Aman, Di Ruang Privat Tak Ada Privasi

April 29, 2009

Kebebasan di ruang publik mendapat perlindungan hukum. Karena itu, orang merasa aman keluar rumah, sekedar berjalan-jalan atau mampir ke kafe lalu duduk sambil minum secangkir kopi di sana.

Kebebasan di ruang privat juga demikian. Artinya, ketika berada di ruang privat, keberadaan itu adalah urusan pribadi, hak untuk berada dalam keadaan pernuh privasi. Tidak boleh orang lain memasuki ruang privat itu sembarangan, sebab itu berarti melanggar privasi. Harus ada ijin dari pihak yang berhak mendiami ruang privat itu. Kalaupun pihak lain yang hendak memasuki ruang privat itu adalah polisi atau petugas hukum, harus ada landasan hukumnya.

Begitulah semestinya yang berlaku di negara hukum seperti di negara kita ini. Hukum menjamin kebebasan dan kesempatan yang sama untuk menjalani kehidupan bersama di ruang publik.Hukum juga menjamin keberadaan seseorang di ruang privat, dalam arti menjamin hak untuk memiliki privasi. Baca entri selengkapnya »

Jurnalisme dan Etika Publik: Pengembangan Wacana

Maret 27, 2009

 

Pengantar

Topik kali ini merupakan bahasan terakhir tentang Jurnalisme dan Etika Publik, mengetengahkan permasalahan apa yang seyogyanya dilakukan jurnalis dalam mengembangkan wacana publik tentang etika publik. Pengembangkan wacana etika publik melalui informasi tentang suatu realitas sosial yang disampaikan kepada publik di satu sisi akan menumbuhkan kritisisme publik. Di sisi lain, publik diharapkan akan menemukan makna publik dari realitas sosial.

 

Banyak kejadian yang bisa ditemukan di tengah kehidupan sehari-hari yang menunjukkan seperti apa perilaku kita di tengah kehidupan bersama di ruang publik. 

Salah satu contoh, kita rela berdesakan bak ikan pindang di dalam bis. Kita tidak mau menunggu bisa berikutnya. Kita tunduk terhadap motif ekonomi awak bis yang ingin memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Kita tidak hirau bahwa di satu sisi, sebagai penumpang kita berhak atas kenyamanan naik bis. Sedang di sisi lain, kita juga tidak peduli bahwa adalah kewajiban awak bis untuk menjamin kenyamanan itu. Bahkan mungkin kita berharap, janganlah polantas tiba-tiba muncul menghentikan bis itu di tengah perjalanan. Kalaupun polantas muncul, semoga dia mau menerima salam tempel kondektur, lalu membiarkan bis melanjutkan perjalanan.

Yang hendak dikatakan melalui contoh itu adalah demikian. Sebagai penumpang bis, kita lebih mendahulukan kepentingan subyektif agar lebih cepat sampai di tujuan. Untuk kepentingan itu, kita mengorbankan kenyamanan (atau bahkan keselamatan).  Kita biarkan awak bis, demi kepentingan ekonomi mereka, mengabaikan etika penyelenggaraan angkutan umum di ruang publik. Kita malah tidak berharap bahwa polantas sebagai representasi negara sebagai penyelenggara kehidupan bersama di ruang publik, akan turun tangan menegakkan etika itu. Agar cepat sampai ke tujuan, kita berharap polantas bersikap sama seperti awak bis, mendahulukan kepentingan ekonomi pribadinya dengan menerima salam tempel. Sebagaimana dikemukakan Haryatmoko, dengan mengutamakan kepentingan ekonomi,  menjadikan masyarakat sama sekali tidak peduli pada nilai, makna, dan moral (Kompas, 07/05/03). Baca entri selengkapnya »

Betapa Ringannya Kita Melanggar Kaidah Etis

Maret 2, 2009

            Pengantar:  Bulan lalu, pokok bahasan dalam forum ini adalah tentang persoalan seperti apa gambaran kehidupan publik di ruang publik. Berdasarkan tanggapan yang masuk, terdapat pemahaman yang sama bahwa dalam menyikapi kebebasan di tengah kehidupan publik di ruang publik, kita cenderung belum menghargai keberadaan yang lain sebagai pihak yang juga memiliki kebebasan yang sama seperti kita. Ketika kita tidak suka terhadap yang lain, entah karena berbeda pendapat atau karena yang lain itu menolak kehendak kita, kita marah, lalu melakukan anarki. Mengapa hal itu terjadi? Pokok bahasan bulan ini adalah tentang etika publik di ruang publik.

Ada data yang menimbulkan keprihatinan diungkap oleh Benyamin F Intan melalui artikelnya tentang pluralisme agama (KOMPAS, 27 Februari 2009). Angka kekerasan kebebasan berkeyakinan tahun 2008 naik 100 persen menjadi 360 pelanggaran (laporan Syafii Anwar dari ICIP). Sedang SETARA Institute mencatat, dari 367 pelanggaran kebebasan beragama tahun 2008, 88 adalah tindak kriminal warga dan 91 berupa intoleransi individu.

Peningkatan angka kekerasan yang sedemikian tajam sudah tentu mengejutkan, menimbulkan kerisauan. Kehidupan kebebasan beragama semakin tidak kondusif. Akankah angka kekerasan itu semakin meningkat di masa mendatang? Lantas, bagaimana dengan kebebasan dalam kehidupan di lain bidang? Apakah angka kekerasan menyangkut kebebasan dalam kehidupan di lain bidang juga meningkat sama tajam?

Pertanyaan itu relevan diajukan, mengingat kekerasan adalah bentuk pemaksaan kehendak. Dan sebagaimana dicontohkan pada bahasan terdahulu,  pemaksaan kehendak boleh dikata sudah mewarnai seluruh interaksi dalam kehidupan kita di segala bidang dan dilakukan oleh berbagai lapisan. Oleh warga biasa, figur publik, kelompok masyarakat, kekuatan ekonomi atau politik, bahkan penguasa.

Persoalannya, dalam pemaksaan kehendak, yang diutamakan adalah kepentingan sendiri.  Tindakan dilakukan tanpa rasionalitas.  Tindakan dilakukan tanpa pemahaman yang benar atas persoalan yang dihadapi.  Tidak ada lagi pertimbangan atas pengaruh suatu tindakan terhadap kepentingan yang lain. Tidak lagi menjadi penting apakah suatu tindakan akan merugikan yang lain atau tidak. Tidak juga dihiraukan apakah tindakan itu akan diterima atau ditolak. Demi kepentingan sendiri, pemaksaan kehendak melalui kekerasan dianggap sah.

Baca entri selengkapnya »

Seperti apa gambaran kehidupan publik kita?

Februari 10, 2009

Pengantar:

Tindakan anarkis para pengunjuk rasa yang mendukung   pembentukan provinsi Tapanuli berbuah tragedi. Ketua DPRD Sumut, Aziz Angkat, meninggal di tengah tindakan anarki itu (03/02/2009). Tragedi itu untuk kesekian kali menimbulkan tanda tanya besar ke mana demokrasi di negeri ini akan melangkah. Dalam konteks itu, kiranya relevan membicarakan masalah Jurnalisme dan Etika Publik, mengingat kehidupan publik pada dasarnya diisi oleh berbagai makna bersumber dari sumber-sumber kekuasaan yang berkompetisi untuk “menguasai” warga. Bagaimana makna itu ditafsirkan, selanjutnya akan mempengaruhi cara pandang warga dalam kehidupan berdemokrasi. Karena itu, kerja jurnalisme tidak lagi sekedar mengidentifikasi nilai atau kelayakan berita dari fakta, melainkan pengidentifikasian makna publik dari kehidupan publik. Jurnalisme dan Etika Publik menjadi topik bahasan dalam forum ini untuk tiga edisi berturut-turut. Pertama, mempertanyakan seperti apa gambaran kehidupan publik di ruang publik sekarang ini dan seperti apa idealnya. Kedua, mengetengahkan persoalan tentang etika publik. Ketiga, jurnalisme dan etika publik.

Seperti apa gambaran kehidupan publik di ruang publik sekarang ini? Dalam berinteraksi di ruang publik, apakah masih ada penghargaan terhadap kebebasan dan keberadaan yang lain? Ataukah tindakan anarkis menjadi satu-satunya cara untuk mencapai tujuan? Baca entri selengkapnya »